Jumat, 09 Mei 2008

PERSAINGAN AGLAONEMA

Ketekunan dan Tekad Mengalahkan Thailand

ama Greg Hambali sangat dikenal di kalangan pencinta dan kolektor tanaman hias. Namanya tak bisa dilepaskan jika bicara tentang aglaonema, tanaman hias daun yang sedang tren. Tak afdol jika tidak menyebutkan namanya.
Bukan hanya karena ia penasihat di perkumpulan Aglaonema Indonesia, namun terlebih karena ketekunannya, nama Indonesia dikenal di dunia melalui aglaonema hasil silangannya, Aglaonema Pride of Sumatera. Tanaman hasil silangan yang dikoleksi dr Purbo Djojokusumo itu meraih gelar juara kedua kontes tanaman hias internasional Floriade 2002 di Haarlemmermeer, Amsterdam, Belanda.
Greg adalah orang yang pertama kali menyilangkan aglaonema warna hijau putih, yang juga dikenal dengan nama sri rejeki atau chinese evergreen, menjadi merah ungu. Greg mulai menyilangkan Aglaonema comutatum tricolor dengan Aglaonema rotundum pada sekitar 1980. Hasilnya, dengan sifat genetik yang sudah mantap, baru diluncurkan pada 1988 dengan nama Aglaonema Pride of Sumatera, yang hingga kini masih menjadi aglaonema paling favorit untuk dikoleksi. Selain Pride of Sumatera, melalui tangan dingin Greg, lahir varian lain, di antaranya Roro Mendut, Widuri, Donna Carmen, Srikandi, Madame Suroyo, Adelia.
Aglaonema boleh dikatakan primadona tanaman hias hingga saat ini, terutama jika dilihat dari harganya yang mencengangkan mencapai jutaan rupiah per daun. Harga itu ditentukan oleh kecantikan atau penampilan fisiknya, ketersediaan barangnya, dan jumlah permintaan di pasaran. "Permintaan di pasar sangat tinggi, sedangkan barangnya (hasil silangan, Red) masih sangat terbatas, otomatis harga pun tinggi," kata Greg. Maklum, pertumbuhan dan perbanyakan memerlukan waktu.
Di satu sisi, prospek ekonomis yang bagus itu memang menyenangkan. Di sisi lain, kenyataan itu menjadi perenungan tersendiri bagi Greg. Penyilang (breeder) seperti dia masih bisa dihitung dengan jari. Kenyataan itu berdampak pada susahnya bersaing dengan Thailand.
Demam aglaonema menyebabkan kolektor tanaman hias memburu aglaonema hingga ke mancanegara. Thailand salah satu di antaranya, yang sangat agresif mengembangkan tanaman hias ini, bahkan melalui teknik kultur jaringan. Varian-varian asal Thailand seperti Lady Valentine, Legacy, Venus, dan Balanthong, mulai menghiasi rumah-rumah kolektor tanaman hias.
Tidak "Fair"
Bagi Greg, di satu sisi agresivitas itu merupakan tantangan baginya untuk terus memacu kreativitas. Namun, di sisi lain, agresivitas itu membawa dampak negatif. Dalam satu percakapan dengan ayah dua anak itu beberapa waktu lalu, contohnya, Greg menunjukkan satu buku berbahasa Thailand mengenai aglaonema, Catalog of Aglaonema in Thailand. Katalog itu keluaran Kehakankaset Magazine pada 1 Oktober 2006.
Buku tulisan para hortikulturis profesional berbahasa Thailand itu memajang aneka aglaonema, namun tidak mencantumkan asal persilangannya. Aglaonema-aglaonema di dalamnya disebutkan sebagai asal Thailand, walaupun di antaranya tertera varian hasil silangan Greg. Hanya disebutkan sepintas bahwa sebagian kecil varian berasal dari Indonesia dan Amerika Serikat.
Greg menganggap buku keluaran Thailand itu "menghilangkan jejak". "Bagaimana mungkin? Mereka, penulisnya, kan profesional. Kalau profesionalnya saja tidak mengindahkan etika ilmiah, bagaimana lagi dengan pedagangnya?" kata Greg.
Keindahan aglaonema universal. Tetapi, apa yang dilakukan Thailand dengan buku itu, menurut Greg, seperti mengesampingkan bahkan menganggap Indonesia tidak punya peran. Ia menganggap Thailand tidak fair mengklaim aneka aglaonema itu sebagai asli silangan Thailand.
Greg tidak mengada-ada. Sumber warna merah dari tanaman hias daun itu memakai indukan dari Indonesia. Sumber warna merah berasal dari Aglaonema rotundum, tanaman asli Indonesia, yang keberadaannya terutama tersebar di hutan di Alas di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam hingga Sumatera Utara.
"Kalau kita disudutkan, dan dianggap kita di Indonesia ini seolah-olah tidak punya peranan di Asia Tenggara, itu kan nggak fair. Indonesia kan yang paling besar di Asia Tenggara. Apa salahnya mereka mengatakan indukan yang mereka pakai berasal dari Pulau Sumatera, dari Indonesia? Satu tempat yang keanekaragamannya tinggi," ujar Greg, menyatakan kekesalannya.
Mereka mengatakan, munculnya Balanthong membuat orang Thailand menggebu-ngebu untuk mengembangkan aglaonema. Yang sesungguhnya terjadi, justru sesudah Pride of Sumateralah Thailand menggebu-nggebu mengembangkan aglaonema. Karena dibandingkan dengan Pride of Sumatera, merah Balanthong tidak begitu kelihatan. Mereka mengambil merah dari Pride of Sumatera.
Greg memang tidak mematenkan hasil silangan-silangannya. Ia menganggap paten di Indonesia masih belum bisa dijadikan pegangan. Kenyataan sehari-hari di Indonesia menunjukkan hukum belum dijunjung tinggi.
Ia menunjuk masalah keamanan, yang juga berdampak pada pencurian aglaonema belakangan ini. "Keamanan untuk aglaonema saja tidak akan terkendali. Itu pula sebabnya Thailand dengan mudah mengembangkan aglaonema karena keamanan relatif lebih terjamin," katanya.
Lebih luas Greg mencontohkan keadaan pariwisata di Indonesia dan kesulitan untuk mencapai target kunjungan. "Turis-turis ke sini kan mau santai, bukan cari sengsara, harus 24 jam mengawasi barangnya. Mereka kan mau ketenangan, rileks, dengan kamar yang dikunci seperlunya. Ini jangankan kamar, taksi pun jadi sumber keluhan," ia menambahkan.
Salak dan Palem
Gregori Hambali Garnadi, nama lengkapnya, dilahirkan di Sukabumi, 19 Februari 1949. Menyukai tanaman, ia kemudian masuk Institut Pertanian Bogor. Begitu lulus, Greg berkarya di Herbarium Bogoriense, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia meraih gelar master of science dalam bidang konservasi dan pemanfaatan sumber-sumber daya genetika dari Universitas Birmingham, Inggris.
Ketika masih aktif di LIPI, ia mendalami penelitian tentang salak. Di kebunnya, ia mengoleksi berbagai varietas salak dari seluruh Indonesia untuk dikawinsilangkan. Sebagian hasil penelitiannya sudah dilemparkannya ke petani untuk dikembangkan lebih lanjut.
Greg juga dikenal sebagai "Raja Palem" karena mengoleksi aneka palem di kebunnya. Pada 1986, ia mengundurkan diri dari LIPI untuk menekuni teknik persilangan secara mandiri. Ia mulai mencurahkan perhatian ke tanaman hias.
Walau sudah berhasil, Greg tidak berubah. Ia tetap Greg yang sederhana, yang lebih senang berada di balik layar, berkarya dalam diam. Istrinya, Indrijani Greg Hambali, yang lebih banyak tampil. Bahkan istrinya didaulat menjadi Ketua Umum Aglaonema Indonesia.
Kini, anak sulung mereka, Adrian Gibran, mulai terjun ke usaha yang dirintis orangtuanya. Darah peneliti Greg, menurun kepada anak perempuannya, Mia Sutranina.
Greg sangat optimistis Indonesia bisa mengembangkan diri di bidang tanaman hias. "Asal tekun, dan tak segan bekerja keras," katanya.
Ia sudah memberi contoh. [Pembaruan/Sotyati]

Tidak ada komentar: